Tulisan di bawah ini copas dari facebook pribadinya Mbak Jayaning Hartami, bagus banget untuk bahan renungan para orang tua. Save di sini supaya gak ilang pas nanti mau dibaca lagi ;)
BUDAYA PRANK DAN MATINYA EMPATI ANAK ANAK KITA
Oleh: Jayaning Hartami
Pagi ini saya maraaaah sekali membaca status seorang dokter yang cerita tentang pasiennya.
Pasien itu datang dalam kondisi muntah setiap makan dan minum selama 2 minggu, esofagusnya rusak gak bisa diperbaiki.
Belakangan diketahui, ternyata ia dikerjain teman temannya yang sengaja menaruh cairan pembersih oven, yang lalu diminum oleh si pasien. Dalam rangka "surprise ulang tahun".
Cerita semacam ini -kalo mau rajin gugling-, bukan yang pertama kali.
April 2018 lalu ada seorang Ibu yang dikerjain oleh seorang youtuber yang nyamar jadi pocong trus tiba tiba muncul dari sudut jalan yang gelap. Si Ibu yang ternyata punya riwayat sakit jantung ini kaget ampun ampunan.
Bisa tebak gimana reaksi si pelaku?
Dia dan teman2 "tim vlog"nya ketawa, cekakakan.
Mau yang lebih ekstrim lagi?
Pernah ada seorang stand up comedian yang bikin vlog dimana ia berpura pura sebagai mahasiswa kedokteran.
Lalu dia keliling menanyakan ukuran bra ke beberapa wanita di pusat perbelanjaan. Dengan alasan, untuk keperluan skripsi anatomi kedokteran.
***
Asli...
Saya marah..
Marah dan sedih campur jadi satu, ga tau lagi mau ngomong apa..
Ngerjain orang.. nyeplokin saat ulang tahun.. saya tau ini memang bukan hal yang baru. Dari zaman kita masih kecil pun udah ada.
Tapi sekarang itu semua dibungkus dengan istilah "prank", yang kemudian jadi standar keren tersendiri di kalangan anak dan remaja kita.
Prank, adalah istilah yang beberapa tahun belakangan ini populer lewat konten konten youtube.
Bergurau, berkelakar, itu definisi bahasanya.
tapi secara riil di lapangan, prank mengacu pada "ngerjain orang lain", at all cost.
Lewat pocong, lewat ngagetin, lewat nakut nakutin.
Tapi intinya sama : bohong.
Konten model begini di algoritma youtube kita?
lakunya luar biasa. Jadi fenomena tersendiri dan trending dimana mana.
***
"Ya tugas orang tua dong ngawasin anaknya! Jangan dikasih nonton video begituan! Kontrol kan ada di orang tua!"
Betul, saya setuju dengan pernyaatan di atas.
itu sebabnya dua anak kami di rumah, belum kami kasih akses ke dunia maya.
Selama ini, saya merasa ada sebuah missing link yang terjadi tentang anak dan dunia digital.
Orang tua gak pernah ngasih briefing apa apa ke anak tentang internet sehat, ga pernah jelasin digital literacy skill, tentang apa sih konsekuensi berinternet, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dibagikan secara publik ke dunia maya...
Tapi ujug ujug mereka ngasih gadget yang memungkinkan anak mengakses itu semua.
Akhirnya apa?
Anak belajar dengan otodidak.
Lewat siapa?
Lewat influencer yang usianya sebaya dengan mereka.
Ini yang membuat anak membentuk persepsi tentang baik-buruk, keren-gak keren, boleh-gak boleh, Berdasarkan konten yang ditampilkan para influencer di akun medsos dan vlog mereka.
Vlog yang subscribersnya tinggi, waah itu berarti keren!
panutan!
Dan tau gak siiih,
Konten model prank prank begini tuh ratingnya emang tinggi dan gampang masuk di halaman pencarian utama.
***
"Berlebihan ah, Mbaknya.. Prank itu kan maksudnya becandaan doang.. Buat lucu lucuan aja laah.."
“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.”
(HR. Abu Daud & Tirmidzi)
Begitu Rasulullah udah ngingetin dari dulu.
Bahkan dalam bercanda pun, ada aturannya.
Gantilah kalimat "hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa", dengan "hanya karena ingin mengejar jumlah viewers dan susbcribers".
Now, get my point?
Buat para pembuat konten, ini tuuuh cuma soal menghasilkan uang.
Semakin banyak viewers, semakin banyak susbcribers, semakin besar uang yang akan mereka hasilkan.
Tapi apa yang dipelajari anak kita?
Ooohh.. ternyata ngerjain orang itu keren, ya.. bikin orang kaget itu lucu, ya.. bikin video nakut nakutin orang, trus diketawain rame rame itu.. banyak loh yang suka.. Besok mau ah coba bikin video begituan..
Gapapa kok bohongin orang, ntar kan tinggal ngaku sambil ketawa tawa.. Lucu tauuu..
Lalu pelan pelan empati mereka pun pergi, hilang entah kemana.
***
Buat orang tua yang udah ngasih gadget ke anaknya, yakin rela anaknya nonton konten model begituan?
Buat orang tua yang udah ngasih izin anaknya buat jadi pembuat konten di media sosial, tolong dibantu ya..
Temenin mereka untuk bikin konten yang bagus. Sering sering ajak ngobrol, kasih mereka padanan influencer lain yang -mungkin gak tenar tenar amat-, tapi kontennya manfaat. Kebermanfaatan ini yang bakal ditanya sama Allah di hari akhir nanti.
Karena viewers mereka, gak akan jauh usianya dari anak kita.
Dan ayo ayo ayo, kasih anak anak kita briefing tentang internet sehat JAUUUUH SEBELUM ngasih aksesnya ke mereka.
I'm not judging here.
Meskipun kami disini belum membuka dunia maya ke anak anak di rumah, tapi kami tau value di keluarga lain bisa jadi berbeda.. dengan masing masing pertimbangannya.
Dan kelak, anak anak kita akan berinteraksi di ruang ruang publik yang sama.
Jadi, boleh ya minta bantuannya supaya kita saling menjaga? 🙏
========================================================================
Btw Mbak Jayaning Hartami juga menulis di blog pribadinya. Bagi yang ingin membaca tulisan Mbak Jayaning Hartami lainnya, bisa klik link ini.
BUDAYA PRANK DAN MATINYA EMPATI ANAK ANAK KITA
Oleh: Jayaning Hartami
Pagi ini saya maraaaah sekali membaca status seorang dokter yang cerita tentang pasiennya.
Pasien itu datang dalam kondisi muntah setiap makan dan minum selama 2 minggu, esofagusnya rusak gak bisa diperbaiki.
Belakangan diketahui, ternyata ia dikerjain teman temannya yang sengaja menaruh cairan pembersih oven, yang lalu diminum oleh si pasien. Dalam rangka "surprise ulang tahun".
Cerita semacam ini -kalo mau rajin gugling-, bukan yang pertama kali.
April 2018 lalu ada seorang Ibu yang dikerjain oleh seorang youtuber yang nyamar jadi pocong trus tiba tiba muncul dari sudut jalan yang gelap. Si Ibu yang ternyata punya riwayat sakit jantung ini kaget ampun ampunan.
Bisa tebak gimana reaksi si pelaku?
Dia dan teman2 "tim vlog"nya ketawa, cekakakan.
Mau yang lebih ekstrim lagi?
Pernah ada seorang stand up comedian yang bikin vlog dimana ia berpura pura sebagai mahasiswa kedokteran.
Lalu dia keliling menanyakan ukuran bra ke beberapa wanita di pusat perbelanjaan. Dengan alasan, untuk keperluan skripsi anatomi kedokteran.
***
Asli...
Saya marah..
Marah dan sedih campur jadi satu, ga tau lagi mau ngomong apa..
Ngerjain orang.. nyeplokin saat ulang tahun.. saya tau ini memang bukan hal yang baru. Dari zaman kita masih kecil pun udah ada.
Tapi sekarang itu semua dibungkus dengan istilah "prank", yang kemudian jadi standar keren tersendiri di kalangan anak dan remaja kita.
Prank, adalah istilah yang beberapa tahun belakangan ini populer lewat konten konten youtube.
Bergurau, berkelakar, itu definisi bahasanya.
tapi secara riil di lapangan, prank mengacu pada "ngerjain orang lain", at all cost.
Lewat pocong, lewat ngagetin, lewat nakut nakutin.
Tapi intinya sama : bohong.
Konten model begini di algoritma youtube kita?
lakunya luar biasa. Jadi fenomena tersendiri dan trending dimana mana.
***
"Ya tugas orang tua dong ngawasin anaknya! Jangan dikasih nonton video begituan! Kontrol kan ada di orang tua!"
Betul, saya setuju dengan pernyaatan di atas.
itu sebabnya dua anak kami di rumah, belum kami kasih akses ke dunia maya.
Selama ini, saya merasa ada sebuah missing link yang terjadi tentang anak dan dunia digital.
Orang tua gak pernah ngasih briefing apa apa ke anak tentang internet sehat, ga pernah jelasin digital literacy skill, tentang apa sih konsekuensi berinternet, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dibagikan secara publik ke dunia maya...
Tapi ujug ujug mereka ngasih gadget yang memungkinkan anak mengakses itu semua.
Akhirnya apa?
Anak belajar dengan otodidak.
Lewat siapa?
Lewat influencer yang usianya sebaya dengan mereka.
Ini yang membuat anak membentuk persepsi tentang baik-buruk, keren-gak keren, boleh-gak boleh, Berdasarkan konten yang ditampilkan para influencer di akun medsos dan vlog mereka.
Vlog yang subscribersnya tinggi, waah itu berarti keren!
panutan!
Dan tau gak siiih,
Konten model prank prank begini tuh ratingnya emang tinggi dan gampang masuk di halaman pencarian utama.
***
"Berlebihan ah, Mbaknya.. Prank itu kan maksudnya becandaan doang.. Buat lucu lucuan aja laah.."
“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.”
(HR. Abu Daud & Tirmidzi)
Begitu Rasulullah udah ngingetin dari dulu.
Bahkan dalam bercanda pun, ada aturannya.
Gantilah kalimat "hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa", dengan "hanya karena ingin mengejar jumlah viewers dan susbcribers".
Now, get my point?
Buat para pembuat konten, ini tuuuh cuma soal menghasilkan uang.
Semakin banyak viewers, semakin banyak susbcribers, semakin besar uang yang akan mereka hasilkan.
Tapi apa yang dipelajari anak kita?
Ooohh.. ternyata ngerjain orang itu keren, ya.. bikin orang kaget itu lucu, ya.. bikin video nakut nakutin orang, trus diketawain rame rame itu.. banyak loh yang suka.. Besok mau ah coba bikin video begituan..
Gapapa kok bohongin orang, ntar kan tinggal ngaku sambil ketawa tawa.. Lucu tauuu..
Lalu pelan pelan empati mereka pun pergi, hilang entah kemana.
***
Buat orang tua yang udah ngasih gadget ke anaknya, yakin rela anaknya nonton konten model begituan?
Buat orang tua yang udah ngasih izin anaknya buat jadi pembuat konten di media sosial, tolong dibantu ya..
Temenin mereka untuk bikin konten yang bagus. Sering sering ajak ngobrol, kasih mereka padanan influencer lain yang -mungkin gak tenar tenar amat-, tapi kontennya manfaat. Kebermanfaatan ini yang bakal ditanya sama Allah di hari akhir nanti.
Karena viewers mereka, gak akan jauh usianya dari anak kita.
Dan ayo ayo ayo, kasih anak anak kita briefing tentang internet sehat JAUUUUH SEBELUM ngasih aksesnya ke mereka.
I'm not judging here.
Meskipun kami disini belum membuka dunia maya ke anak anak di rumah, tapi kami tau value di keluarga lain bisa jadi berbeda.. dengan masing masing pertimbangannya.
Dan kelak, anak anak kita akan berinteraksi di ruang ruang publik yang sama.
Jadi, boleh ya minta bantuannya supaya kita saling menjaga? 🙏
========================================================================
Btw Mbak Jayaning Hartami juga menulis di blog pribadinya. Bagi yang ingin membaca tulisan Mbak Jayaning Hartami lainnya, bisa klik link ini.
Comments
Post a Comment